Sunday, May 15, 2011

Saturday, May 14, 2011

Tepi Tonle Sap river

Tepi Tonle sap river

alun2 dan istana

alun2 dan istana

National museum

National museum

central market, tempat beli oleh2

central market, tempat beli oleh2
angkor phnomp

City Centre Hotel (Phnom Penh)




Hotel yang sudah kami booking adalah City Centre Hotel dengan tariff yang murah USD28/night. Di website kelihatan besar, di tengah Phnom Penh sebagai ibu kota Negara Kamboja. Ternyata masuk jalan kecil dan hotelnya tidak sebesar yang kami bayangkan. Namun saudara-saudara, walaupun kecil tapi bagus, petugas ramah banget, hotel kecil tapi pelayanan kayak hotel berkelas. Dah gitu, kamar juga lengkap dengan AC, TV, water heater, dan yang paling menarik adalah disediakan PC untuk internetan gratis, ckckck.

So jika anda mau menginap dengan harga murah tapi bagus, bolehlah saya rekomendasikan. Alamatnya No. 77-79, Street 130, Sangkat Phsar Chas, Khan Daun Penh, Phnom Penh. Bisa dicari di internet dan boking lewat Agoda, 200 m dari Tonle River, 500 m dari Central Market, 1km dari alun-alun/istana raja. Cerita menyenangkan terkait dengan pelayanan hotel ini sangat banyak sehingga akhirnya kami booking lagi. Kami bercerita mau ke Siem Reap, dia carikan bus dan didapatkan tiketnya diantar di kaunter, ntar ke bus akan dijemput dari hotel. Mau pergi ke airport atau jalan2, dicarikan taxi atau tuk-tuk sesuai keinginan kita. Bagusnya lagi, sekitar 100 m ada warung makan halal Malaysia: Malaysia Restaurant, No. 57, Street 13, Phsar Chas District Khan Doun Penh, Phnom Penh.

Setelah istirahat sebentar di hotel, tibalah saatnya kini menjelajah kota Phnom Penh.

Welcome to Phnom Penh, Cambodia




Sekira 1.5 jam perjalanan, tibalah saatnya landing di Phnom Penh Airport, Cambodia. Pagi airport “berkabut” debu, setelah sebelumnya melihat pemandangan di bawah yang seolah datar semua, tampak dimana-mana hamparan luas sawah kering, demikian juga jarang tampak rumah2 penduduk.

Di airport, merasakan betapa tidak enaknya karena diplomasi Negara Indonesia lemah atau apa masalah sebenarnya saya gaktahu. Jika warga Malaysia langsung mendapat cop imigrasi, WNI mesti mengurus visa on arrival (padahal sesama ASEAN, inget dulu ke Belanda WNI juga mesti urus visa padahal 350 tahun kita dijajah mereka, sedang warga Malaysia bebas visa). Untuk di Kamboja, benernya gakpapa ngurus visa, cuma mbayarnya itu lho yang males hehe, USD 20/orang. Petugas lumayan ramah, wajah-wajah terasa tidak asing, cuma bahasanya asing banget gak paham.

Keluar airport, kami langsung disambut banyak tawaran kendaraan ke pusat kota (airport ke pusat kota Phnom Penh sekitar 30 km). Alhamdulillah, rate standard terhadap layanan kendaraan ini; taxi USD 12 dan tuk-tuk USD 7. Tuk-tuk, itulah kendaraan umum yang banyak dijumpai di Kamboja, kayak becak motor tapi penumpang di belakang. Setelah ambil kenangan foto, akhirnya kami naik tuk-tuk dengan sopir Mr King ke Cuty Centre Hotel di pusat kota Phnom Penh, hotel telah kita pesan via Agoda online sebelum terbang.

Sepanjang perjalanan sekira 30 menit, kami mesti sering-sering memegang dada karena kaged dan takut dengan lalulintas yang kami lalui. Beberapa ruas jalan serasa semrawut dan banyak sangat orang lalu lalang seenaknya, terutama motor dan tuk-tuk. Tapi seperti di Indonesia, akhirnya munculnya kearifan lokal; kuatkan toleransi karena tuntutan keadaan. Tapi jalan longgar dan mobil bagus banyak juga lho. Untungnya, sopir tuk-tuk kami baik dan ramah banget sehingga kami agak bisa menguasai keadaan.

Mr King banyak ngajak bicara, bahasa Inggrisnya bagus. Dia meyakinkan kami; di Kamboja jangan takut, kami sangat menghormati wisatawan, oleh kerajaan kami terutama sopir tuk-tuk telah diberikan kursus bahasa dan cara menyambut wisatawan sehingga nyaman di Kamboja, tak boleh menipu bayaran atau tujuan, dll. Alhamdulillah, tenanglah diri kami mendengarnya. Di perjalanan pula, dia menceritakan keluarganya, konflik Kamboja-Thailand, pengetahuan dia tentang Indonesia, dan taklupa dijelaskan apa-apa yang kita lewati; University, institute, rumah sakit bantuan Jepang, supermarket habis kebakaran, pasar, komplek militer, interest place, dlsb.

Kamboja: Bismillah Aman dan Takperlu Uang Riel



Kamboja: Bismillah Aman dan Takperlu Uang Riel
Ada satu keraguan dalam diri saya dan istri sebelum memutuskan jadi-tidaknya berangkat ke Kamboja. Tiket pergi-pulang sudah di tangan, ijin ke atasan juga sudah diurus dan disetujui, tapi tetep masih ragu juga. Masalah keamanan merupakan salah satu kekhawatiran utama, apalagi sekarang sedang hangat konflik perbatasan dengan Thailand. Tapi, itu khan cuma di perbatasan, di kotanya paling adhem ayem aja, begitu cara untuk menghibur diri. Setelah membaca beberapa web/blog orang yang barusan datang kesana, ternyata banyak cerita mereka yang enjoy aja takda masalah berarti. Akhirnya, bismillah, kami pastikan jadi berangkat.

Setelah memutuskan berangkat, barulah kami hunting mata uang Kamboja. Terkait mata uang, gak menyangka urusannya jadi ribet. Mata uang Kamboja adalah Riel, namun mencari money changer di seantero Chow Kit dan Bukit Bintang tak ada yang punya mata uang tersebut. Terpikir olehku, sebenarnya Riel itu bener-bener riil atau imaginer ya? Hehe. Akhirnya saya dapat petunjuk bahwa di Little India mungkin ada. Saya langsung menuju kesana, dan ternyata diantara banyak money changer, hanya satu yang punya Riel, itupun dia hanya punya 3500 riel (nilai sebenarnya, USD 1 = RM 3 = Riel 4000). So, maknanya saya hanya bisa menukar 3 ringgit sahaja untu dapat semua stock Riel 3500 tersebut. (sayangnya, karena belum tahu rate yang sebenarnya, dalam transaksi yang kita lakukan terjadi kesalahan, saya tukar Riel 3500 tsb dengan 30-an ringgit…. untuk pengalaman, pastikan rate yang sebenarnya berlaku sebelum transaksi).

Karena capek urusan cari Riel gak dapat, kami putuskan semua uang saku tukar USD semua saja. Begitu yang akhirnya saya ikuti berdasar pengalaman temen dan juga salah satu blog. Bismillah, bermodal keinginan untuk menambah pengalaman mengambah luasnya bumi Allah, kami terbang ke Kamboja.

Phnom Penh (Cambodia), kami datang…

Tuesday, May 10, 2011

Dipukul orang

Takut, sangat takut, sehingga menangis, yah begitulah yang saya alami ketika diri ini yang takpernah berkelahi tiba-tiba dipukul oleh seorang lelaki dewasa 40an tahun, lebih takut lagi yang mukul adalah orang yang tinggal persis di depan rumah. Dalam pikiran saya, kita ketemu setiap hari, lha kalo setiap ketemu mukul, habislah saya.

Ceritanya, saat saya baru menempati rumah baru, di perumahan baru (60 rumah) dengan hanya 15-20 rumah yang sudah dihuni. Saya tinggal seorang diri sejak seminggu lalu (teringat dulu 2005 saya yang masih bujang juga pernah jadi penghuni pertama selama sebulan di perumahan baru di Jogja aman-aman saja). Minggu lalu sudah kenalan dengan depan rumah tersebut, orangnya baik-baik saja. Minggu kedua, sore menjelang magrib, saya masuk rumah yang belum memiliki pagar dan garasi tsb. Saya masukkan beberapa barang belanjaan kedalam rumah.

Ada barang tersisa berupa beras 5kg yang masih ada di mobil, akhirnya saya keluar rumah untuk mengambilnya. Terlihat, orang depan rumah juga keluar dari pintu rumahnya. Sebagai tetangga, saya lambaikan tangan dan salam persahabatan karena lupa namanya hanya dengan kata “Bang”. Tak disangka, dia teriak-teriak seperti marah sangat dengan saya (takpaham marah karena apa, takpaham apa yang dia ucapkan), serta-merta dengan wajah penuh amarah dia lari mengejar kea rah saya dengan posisi siap memukul dengan sekuatnya.

Saya yang kaged dan tak paham masalah sebenarnya, takut dan bengong, ada apa ini… pukulan melayang ke arah wajah saya, syukur alhamdulillah beras 5kg di tangan bisa saya gunakan untuk tameng. Takpuas karena gak kena, dia semakin marah. Saya berusaha untuk menanyakan ada masalah apa sebenarnya, tapi dia gak tahu ngomong apa ditambah wajah garangnya yang dia perlihatkan. Saya semakin takut, dia beralih memegang kap mobil seperti mau mengupasnya dan melemparkan ke saya. Saya yang semakin takut, akhirnya lari meninggalkannya, nasib baik dia tak terus kejar saya.

Saya lari ke tetangga kiri rumah, selang 2 rumah ada beberapa orang perempuan Medan, ya baru sekali ketemu itu. Satu blok di jalan tersebut ada 24 rumah, tapi yang terisi baru 4 rumah (saya dan kiri tsb, depan dan kanannya selang 1 rumah), jadi praktis tak ada yang tahu kejadian tersebut kalo saya tak menuju ke orang Medan tsb. Saya ceritakan kepada mereka, mereka kaged dan turut prihatin, tapi mereka juga tidak kenal dan ikut takut juga.

Kejadian selanjutnya, setelah saya berani masuk rumah karena yang mukul dah balik, pemilik rumah dan anaknya datang setelah saya telpon. Kemudian dia cari keluarga depan rumah yang katanya juga tinggal takjauh dari situ. Kemudian ada 3 temen datang atas permintaan kawan lain yang dimintai tolong istri. Kemudian barulah kelegaan muncul, bapaknya orang depan rumah datang ke saya, meminta maaf dan mengatakan bahwa anaknya memang kadang kumat, tak sehat jiwanya, dan sekarang dia sudah dipindahkan dari rumah tersebut ke tempat yang lain untuk seterusnya. Alhamdulillah kekhawatiran2 ke depan akhirnya sirna walaupun tidak seketika, terbayang2 wajahnya …. hiii takuuut kalo mengingatnya.